Ecoton, kata Prigi, juga sudah melakukan penelitian mengenai dampak lingkungan banyaknya sampah ini. Hasilnya, tanah, udara dan air di sekitar kawasan sudah tercemar.
"Semua tercemar. Udara pencemaran dibakar, di rumah warga ada, sampah ada kawat dan logamnya dibakar. Sampah ditumpuk luas, ini meresap ke tanah akhirnya, karena ada logamnya. Di air, semua mengandung mikroplastik, air limbahnya," beber Prigi.
Polusi udara dihasilkan dari pembakaran sampah plastik yang tersisa. Ada juga pembakaran untuk memisahkan salah satu sampah kawat dengan karet. Tentunya mencemari dan asapnya berdampak ke pernapasan," kata Prigi.
Sedangkan pencemaran air, Prigi menyebut bahwa pabrik limbah kertas sudah tercemar mikroplastik. Hal itu pun menggangu kualitas PDAM, mengingat perusahaan berplat merah itu mengelola air bersih dari sungai.
"Ke sungai berantas juga (80 persen ikannya tercemar)," ungkap Prigi.
Sementara pencemaran darat, lanjut Prigi, berdampak pada kualitas tanah dan air tanah. Karena beberapa plastik yang ditimbun itu sudah masuk dan menyatu dengan tanah di sekitar.
"Ya itu tanahnya tercemar, kualitas air tanahnya juga. Kalau ganggu kualitas panen di sawah, kami belum menelitinya."
Pada tahun 2019 ini, Prigi menyebut kontainer limbah kertas yang terselip sampah plastik ini semakin masif, karena Cina sebagai salah satu importir sudah menolak tegas masuknya limbah dari luar negeri. Ecoton mendapat data per Maret 2019, tiap 2 minggu sekali ada 700 kontainer yang masuk ke PT Pakerin dan Tjiwi.
"Tambah banyak. Bahan semakin banyak masuk tahun ini. Potensi pencemaran makin tinggi. Indonesia dimasuki plastik lebih masif karena China menutup (impor)," terangnya.
IDN Times sendiri sudah mencoba mengonfirmasi hal ini kepada PT Pakerin sebagai salah satu pabrik yang mengirim sampah ke Desa Bangun. Unit Pengelolaan Limbah (UPL) PT Pakerin yang terletak di Desa Bangun enggan memberi keterangan. Mereka meminta kami untuk menanyakan pada kantor pusat. "Kalau soal itu di sini tidak ada, ini cuma pengelolaannya. Silahkan di kantor kami (PT Pakerin) yang di Surabaya saja," terangnya.
Pada Jumat (28/6), kami pun mendatangi kantor perusahaan pengolah kertas tersebut di sebuah ruko kawasan Simokerto, Surabaya. Dua orang satpam yang menerima kami tak mengizinkan kami bertemu dengan manajemen. Akhirnya kami menitipkan surat permohonan wawancara. Namun, hingga berita ini dipublikasikan, PT Pakerin belum juga membalas surat kami.